Terik tidak menghalangi
wanita mungil, berwajah bulat, berkulit coklat, dengan lesung pipit di kedua
pipinya ini menjemput rizki Alloh dengan menjual koran di perempatan jalan
Cikditiro . Dia Nampak manis dengan jilbab kaos berwarna putih berenda kuning
bunga-bunga di ujungnya. Senyum selalu merekah di wajahnya, menunjukkan
keikhlasan yang mengalir disetiap waktunya. Dia Sofi, yang setiap hari memulai
menjual koranya dari jam 06.00 pagi. Dia berjalan kaki menempuh 30 menit perjalanan
dari rumahnya untuk mengambil Koran,
kemudian menjualnya pada setiap orang yang berhenti di perempatan jalan. Dia
Sofi, teman baikku.
Sofi bersandar di bawah
pohon beringin di ujung jalan, dan meneguk air yang dia bawa dari rumah. Setelah
hausnya terobati, dia kembalikan botol air minumnya kedalam tas kain yang
berwarna hitam lurik abu-abu. Lelehan keringat didahinya telah membasahi
krudungnya, dia seka kringatnya dengan lengan bajunya yang mulai basah, dan dia
kembali tersenyum untuk meringankan kerjanya, karena senyum menunjukkan
keikhlasan, dan pekerjaan yang dilakukan dengan ikhlas akan terasa jauh lebih
ringan, itu yang dia bilang padaku dulu ketika kami lelah.
Lampu kuning, kulihat pandangan
Sofi menyapu semua pengendara yang hendak berhenti. Dan kembali menawarkan
Koran-korannya.
Dia masih seperti dulu,
selalu tersenyum dan membuatku tenang…
seandainya dulu aku mendengar kata-katanya untuk tidak mengikuti rayuan mamah
Doly, aku tidak akan merasa menyesal seperti ini. Aku merusak masa depanku sendiri,
melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani wanita manapun. Aku
butuh sandaran, aku menyesal. Batinku sesak, hanya bisa memperhatikannya dari balik jendela mobil, tak terasa
aliran air hangat keluar dari ujung mataku. Ku gunakan kaca mata hitamku untuk
menutupi tangisku, agar Ratih yang dari tadi menemaniku tidak banyak bertanya.
Lamunanku berjalan
menyusuri memori kota ini, Jogja 7 tahun
yang lalu. Saat kami, aku dan Sofi menjajakan semua yang bisa di jual di jalan. Kami bersegera turun kejalan ketika
lampu mulai merah, dan kami saling membantu menghabiskan jualan-jualan kami.
Sampai ketika datang
kepada kami, mamah Doly dengan mobil merahnya menghapiri kami tiap sore
membawakan satu kresek makanan kepada masing-masing kami, di saat kami lapar dan
lelah menjajakan jualan-jualan kami.
“ aku mau ikut mamah Doly Sof, ini
kesempatan untukku merubah nasib. Kamu dengar sendiri kan, kita bisa
mendapatkan apa saja yang kita inginkan. Kita bisa mengirimkan lebih banyak
uang untuk keluarga kita di Trenggalek. Aku bisa menyekolahkan adikku, dan
banyak lagi yang bisa ku berikan “ aku tersenyum penuh harap, melihat hari esok
yang cerah. Aku akan menyambutnya. Pasti akan menyenangkan. Tapi ku lihat Sofi
tidak begitu, dia Nampak menyayangkan keputusanku. Sepertinya dia ingin sekali
mencegahku, tapi tidak mampu. Keputusanku sudah bulat, aku ingin hidup bahagia.
“ Ningsih, apakah kamu tau siapa
mamah Doly? dia bukan orang yang kita kenal. Bisa saja kamu ditipu olehnya.
Kamu cantik, dan banyak keinginan. Bisa saja dia menjadikanmu bonekanya.
Dimainkan kapan saja.”
“ itu yang membuat kita terus seperti
ini sof, tidak pernah berubah. Jualan di jalan terus – menerus. Kita tidak
menyambut kebaikan orang lain. Mamah selalu baik terhadap kita. Selalu perduli
dengan keadaan kita. Sof, Aku harap kamu bisa ikut bersamaku. Tetapi jika kamu
tidak mau, cukup Yakinlah padaku, aku akan baik-baik saja.”
***
Aku malu menemuinya,
dengan kondisiku yang sekarang. Aku tidak bisa memegang ucapanku untuk tetap
baik-baik saja. Karena aku tidak dalam kondisi seperti itu sekarang. Aku tidak
bisa melihatnya kecewa dengan keadaanku yang sekarang. Dan aku berharap dia
mengenangku yang selalu ada buatnya dan menjadi sandaran, satu sama lain. Karena
nasib kami yang sama, merantau ke Jogja, dan berusaha survive tanpa keluarga.
***
Di dalam rumah yang tidak
aku inginkan, aku berusaha untuk melawan kenyataan. Aku tidak tahan lagi, tapi
aku hanya bisa kembali kesini..
“ tuan putri, kamu di
cari Juan tuh, cieee…” tiba-tiba Dona masuk
kamarku dan menggodaku yang sedang malas bertemu siapapun..
“ kenapa tidak mencari
kau saja? Biasanya dia mencarimu..”.
“kata mamah kamu yang dia cari..” Dona
menimpali.
“ach, malas sekali aku,
bilang saja aku lagi sakit, tidak bisa diganggu..” kutinggikan nada suaraku, lebih tinggi dari yang pertama
“ baiklah, tapi kalau mamah
marah-marah kamu tanggung sendiri akibatnya..” kata dona sambil melenggang pergi.
Aku tidak tahan lagi, aku
ingin sekali keluar dari lingkungan ini. Tapi nasi sudah menjadi bubur, aku telah
menjadi orang yang cela. Banyak orang
telah mengenalku sebagai wanita jalang. Tidak ada yang peduli padaku. Mereka
hanya menginginkan aku menuruti apa yang mereka mau.
“Ningsiiih…!!!” suara
mamah memanggil dari balik pintu kamarku. Aku tak peduli. “Ningsihh, sakit apa kamu? Juan sudah
lama menunggumu..” mamah mengetuk pintu kamarku.
“aku sakit mah, biarkan
aku istirahat sebentar..”
“ baik, istirahatlah…ku
harap kamu segera kembali keJuan kalau kamu sudah membaik”
“ iya mah, ..”
Aku berusaha menenangkan
jiwaku, tapi tak bisa juga. Aku telah terbuang. Aku tidak layak lagi disebut
manusia. Hati nuraniku telah ku koyak, dan aku telah tidak peduli. Tak ada yang
bisa ku jadikan sandaran. Aku tidak pada posisi yang benar. Kebenaran tak ada
bagiku. Tetapi aku tidak mau terus seperti ini.
***
Aku memasuki sebuah rumah
besar yang sejuk, taman yang indah dengan bunga tulip seperti di Belanda dan
kolam renang yang luaas. Kulihat Sofi cantik sekali, memakai krudung dan
terselip bunga kamboja tersenyum menyambutku dan menggandengku berlari menyusuri hamparan
bunga tulip yang berwarna-warni, merah jambu, putih, merah, dan kuning. Menari
dan bernyanyi bersama. Kami telah hidup bahagia, ditempat yang sangat indah
layaknya syurga.
Di ujung taman ku lihat
mamah dan orang-orang yang ku temui di rumah mamah. Ku ceritakan semua ke Sofi,
bahwa mereka orang –orang ku kenal. Orang yang membuatku semakin mersalah, dan
ketakutan.
***
Tampak wanita aneh
berpakaian tertutup, lengkap dengan kerudung. Dia bernyanyi, menari, dan
terkadang menangis tiba-tiba. Dan setiap orang yang melihatnya, merasa kasian.
Wanita itu seolah telah menemukan kedamaian yang di impikannya, namun seketika
dia mengerutkan dahi, mencaci maki dan menangis. Wanita itu nampak lelah.
Wanita itu adalah aku.