Irshad Manji


Rencana bedah buku “ Alloh, Liberty, dan Love” oleh penulisnya Irshad Manji, warga negara Canada yang merupakan aktifis feminis beberapa waktu lalu di Jakarta telah digagalkan oleh FPI lantaran dianggap membahayakanbagi masyarakat muslim, mengapa demikian?karena  Irshad Manji bukan seorang reformis Islam melainkan seorang yang telah menodai ajaran agama Islam dan melecehkan Nabi Muhammad.Dan dia merupakan tokoh gay dan lesbian yang hendak membawa Islam seakan menghalalkan gay dan lesbian. Kedatangan Irshad Manji dapat menimbulkan dampak negatif terhadap pemikiran dan tingkah laku masyarakat.
Rencananya pada 9 Mei lalu, Irshad Manji hendak menghadiri diskusi rutin yang di dilaksanakan oleh CSCR UGM. Untuk itu, dalam rangka mencerdaskan mahasiswa Yogyakarta, LDK UGM menyelenggarakan diskusi panel yang dihadiri oleh tiga panelis, salah satunya Ibu Irma yang merupakan Pengamat Hukum. Dalam diskusinya beliau menyampaikan bahwa " kita tidak bisa menghukum sebuah fikiran". Ibu Irma menyampaikan pula bahawa " Syariat islam dilaksanakan untuk menjaga kehidupan, agama, jiwa, harta dan keturunan". 
Tujuan dari diselenggarakannya acara ini, Imro'atul Mukhlisah,salah satu panitia acara tersebut dari fakultas Pertanian UGM menyampaikan" acara ini bertujuan agara bisa membuka wawasan dan mencerdaskan Mahasiswa tentang pemikiran Irshad Manji".
 Dalam diskusi tersebut dihadiri oleh sekitar 160 peserta yang merupakan mahasiswa - mahasiswa Yogyakarta. Diskusi berlangsung diAula Fakultas Fisipol. Acara di mulai dari pukul 16.00 sampai magrib. Diakhir acara, panitia menyediakan beberapa lembar kain putih untuk aksi tanda tangan menolak pemikiran Irshad Manji.




Read more

Kanina



Rutinitasku telah benar-benar menyibukanku. Membuat Rencana Pembelajaran, menyiapkan materi yang akan disampaikan untuk siswa-siswa, dan  aku harus mengurus warung makanku pula. Aku harap sehari tidak hanya 24 jam. Karena aku membutuhkan beberapa waktu tambahan untuk sekedar beristirahat sebentar. Aku mulai Nampak kurus, dan sepertinya sangat susah untukku menambah berat badan. Karena aku sudah tidak menikmati makanku.
Di usiaku yang ke 27 ini, tak juga aku berani menambah peran baru, yaitu sebagi istri. Aku selalu beranggapan berkeluarga itu sangat melelahkan. Lelah fisik maupun batin. Bagaimana jika nanti suamiku selingkuh? Seperti ayahku yang meninggalkan ibu, aku dan adik-adiku sendiri.  Bagaimana kalau aku menjadi jauh dari keluargaku? Trus, bagaimana aku bisa mengayomi keluargaku? Bagaimana-bagaimana…--banyak pertanyaan yang harus kujawab untuk menambah tanggung jawabku yang satu itu.
Keluargaku sering menanyakan kepadaku, apakah aku sudah mempunyai lelaki yang hendak menikahiku. Aku paham dengan kekhawatiran mereka. Aku sudah berumur. Teman – temanku sudah menikah semua, bahkan mempunyai dua anak lebih. Adiku yang baru 23 tahun saja sudah menikah. Ya, aku tau kekhawatiran mereka –takut aku menjadi perawan tua. Itu adalah aib buat keluarga. Tapi apakah mereka tau kekhawatiran yang kurasakan? Kurasa tidak. Karena ketakutanku bisa mereka jawab dengan mudah. Aku terlalu buruk sangka dengan kondisi wanita dalam keluarga. Bukan karena tanpa alasan aku menjadi begitu. Telah banyak wanita yang mengeluhkan kepadaku ulah suami mereka ataupun kondisinya yang terdzolimi selama menjadi istri.
***
Wanita cantik berjilbab hijau menghampiriku sambil menggandeng anak kecil. Aku sangat mengenal sosok ini, dia Nisa , temanku kuliah dulu. Kedatangannya menambah sedikit energy bagiku. Aku merindukannya.
Alhamdulillah Dia benar-benar datang sore ini di warungku yang sebelumnya tidak pernah bisa karena dia juga sibuk dengan pekerjaannya. Kami hanya bisa berhubungan lewat telefon. Itupun kalau sempat.
Kami saling berpelukan karena kami saling merindukan. Dia Nampak lebih kurus dari ketika kuliah dulu. Tapi senyum yang dulu masih terlukis di bibirnya. Cantik.
Ku ambilkan sup kesukaannya. Dia rengkuh tanganku, dan kami duduk di kursi kayu dan di depannya terdapat meja bundar dari kayu juga.
Warungmu cukup ramai Nina, kamu hebat!
“Alhamdulillah, semoga berkah, itu yang penting.”
Iya, eh Nasir menanyakanmu lagi, Na. Katanya – apakah kau sudah siap menikah?” Nisa  menanyakan itu lagi. Padahal aku sudah malas menanggapi Nasir yang berlagak seperti ustad, suka menasehati orang, kesana - kemari bicara soal agama, tapi kelakuannya terhadap wanita begitu menyedihkan.
Buat apa dia menanyakanku lagi? Bukankah dia banyak wanita? Kenapa tidak dia nikahi saja salah satu dari mereka?”jawabku agak sewot.
“ Itu karena cuma kamu yang dia tunggu. Dia ganti-ganti wanita karena belum menemukan yang sepertimu.
Heran sekali aku dengan kelakuan Nasir.
Tega sekali dia memperlakukan wanita-wanitanya begitu? Membanding-bandingkan dengan orang lain.”
Bisa saja kan, namanya juga cinta…hehehe”
Bilang saja aku sudah mempunyai lelaki Nis..”
Kamu benar sudah punya lelaki?” Nisa tidak yakin sambil tersenyum dan melirik ku yang sepertinya tidak sungguh- sungguh dalam ucapannya.
“Tidaaak. Lelakiku ya cuma suamiku nanti kok.”
Berarti kamu memintaku berbohong?” Nisa enggan dan sedikit mencibirkan bibirnya ke samping.
Aku hanya ingin dia tidak lagi menanyakanku. Aku tidak akan pernah siap menikah dengannya. Ganti-ganti wanita itu hobi yang tidak bisa ditinggalkannya, kamu tau itu. Jangan kamu jadikan aku sebagai kambing hitamnya Nisa. Itu sudah menjadi kegemarannya. Dan itu akan terus dia lakukan meskipun dia sudah beristri, dan meskipun istrinya aku.”
Kamu sok tau, Na. Dia begitu karena ingin menemukanmu dalam wanita lain, yach, itu karena kamu selalu menolaknya.”
Ah, kamu bercanda. Aku banyak membaca gelagat lelaki. Aku tau apa yang mereka cari. Mereka hanya mencari keindahan. Sulit menerima kekurangan. Dia begitu padaku karena yang dia tau hanya keindahanku saja. Karena aku memang tidak pernah terbuka dengan lelaki. Dan aku selalu menjaga jarak dengan lelaki. Cukup katakan padanya, seperti yang kubilang tadi, Nisa. Pasti kamu mau melakukannya untukku.” Aku tersenyum lebar kepadanya
Kalau kamu selalu berfikir begitu, kamu tidak akan pernah siap untuk menikah, Na. kamu selalu berburuk sangka dengan lelaki.” Nisa menatapku dalam-dalam, dan aku mencoba mengerti apa telah dikatakan sahabatku itu.
Na, aku tau kamu pasti juga tidak mau terus-terusan mengurus warungmu sendiri. Kamu butuh teman untuk menyangga bebanmu. Walaupun sebenarnya tanpa oranglainpun kamu bisa melakukannya. Tapi apakah kamu masih tidak mau berubah? Begini terus-menerus? Kamu selalu berfikir seolah-olah tidak ada kebaikan pada laki-laki, lalu bagaimana kamu bisa membangun keluargamu nanti? Menikah itu perintah Alloh Kanina. Dan Alloh memerintahkan sesuatu pasti karena ada kebaikan disana kan?”  
Iya, Nisa. Aku tau. Alloh pasti memberikan solusi di setiap permasalahan kita. Dan menikah sebagai penentram jiwa laki-laki dan wanita yang mulai merasa sendiri menghadapi dunia. Tapi realiatasnya sangat pahit kuterima, Nisa. Aku sangat miris melihat kondisi wanita yang terdzolimi. Menjadi orang yang terhinakan yang sebelumnya dipuji-puji, dan menjadi makhluk terindah. Itu menyakitkan, Nisa. Sebelum kesana, aku harus bisa mengendalikan kondisi dulu, dimana aku tidak bergantung pada lelaki. Sehingga ketika keburukan itu terjadi padaku, aku benar-benar sudah siap.”
 Kamu hanya butuh ikhlas, Nisa. Ikhlas dengan masa lalumu dan permasalahan wanita yang lain. Bukankah dengan segala kesabaranya wanita menjadi mulia? Bukan atas pengakuan suami kita atau siapa pun, melainkan mulia di sisi Alloh Kanina. Dan aku lihat kamu kuat, Na.”
Aku masih mencoba untuk mengerti apa yang telah dikatakannya. Ku lihat Nisa memandang jauh bukit yang nampak dari warung makanku, tapi tidak, dia melihat lebih jauh dari bukit itu, pandangannya seolah menembus bukit yang memanjang itu. 
“Siapa yang bisa mengira na, suamiku diambil Alloh secepat itu. Ketika aku mulai merasakan kebahagiaan bersamanya. Awalnya memang berat. Tetapi Alloh pasti tidak akan membiarkanku begitu saja. Dan saat ini lihat, aku tetap bisa merasakan bahagia meski tanpa suamiku. Anakku, orang terdekatku telah banyak memberikanku kebahagiaan.” Dia kembali tersenyum.
Aku tau apa yang dia rasakan. Tapi tak ada sepatah katapun yang mampu keluar dari mulutku untuknya. Dan aku masih mencoba mengerti apa yang sahabatku katakan. Aku masih menunggu sosok yang tepat untuk menjadi suamiku, sambil aku menyolehkan diri. Suatu saat pasti aku akan menikah. Meskipun aku tidak tau kapan waktu itu tiba, menemukan orang yang benar-benar menikahiku karena ikhlas ingin beribadah, sehingga kekurangan apapun yang ada padaku dia bisa menerimanya. Dan akupun begitu.
Perasaanku terus berkecamuk, bimbang. Pasti sulit menemukan orang yang seperti itu. Sampai kapan aku menunggu, dan terus seperti ini? Aku berusaha ngenyampingkan masalah ini, karena ini sangat dilematis bagiku.
Kulihat Nisa kembali menyuapi anaknya. Dan dia terlihat bahagia, terlihat dari senyum tulusnya.
Kualihkan perhatianku kembali pada Nia putri Nisa yang sangat menggemaskan  itu untuk melupakan kegalauanku.
Read more

Sohibatani


Terik tidak menghalangi wanita mungil, berwajah bulat, berkulit coklat, dengan lesung pipit di kedua pipinya ini menjemput rizki Alloh dengan menjual koran di perempatan jalan Cikditiro . Dia Nampak manis dengan jilbab kaos berwarna putih berenda kuning bunga-bunga di ujungnya. Senyum selalu merekah di wajahnya, menunjukkan keikhlasan yang mengalir disetiap waktunya. Dia Sofi, yang setiap hari memulai menjual koranya dari jam 06.00 pagi. Dia berjalan kaki menempuh 30 menit perjalanan dari rumahnya  untuk mengambil Koran, kemudian menjualnya pada setiap orang yang berhenti di perempatan jalan. Dia Sofi, teman baikku.
Sofi bersandar di bawah pohon beringin di ujung jalan, dan meneguk air yang dia bawa dari rumah. Setelah hausnya terobati, dia kembalikan botol air minumnya kedalam tas kain yang berwarna hitam lurik abu-abu. Lelehan keringat didahinya telah membasahi krudungnya, dia seka kringatnya dengan lengan bajunya yang mulai basah, dan dia kembali tersenyum untuk meringankan kerjanya, karena senyum menunjukkan keikhlasan, dan pekerjaan yang dilakukan dengan ikhlas akan terasa jauh lebih ringan, itu yang dia bilang padaku dulu ketika kami lelah.
Lampu kuning, kulihat pandangan Sofi menyapu semua pengendara yang hendak berhenti. Dan kembali menawarkan Koran-korannya.  
Dia masih seperti dulu, selalu tersenyum dan membuatku tenang…
seandainya dulu aku mendengar kata-katanya untuk tidak mengikuti rayuan mamah Doly, aku tidak akan merasa menyesal seperti ini. Aku merusak masa depanku sendiri, melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani wanita manapun. Aku butuh sandaran, aku menyesal. Batinku sesak,
hanya bisa memperhatikannya dari balik jendela mobil, tak terasa aliran air hangat keluar dari ujung mataku. Ku gunakan kaca mata hitamku untuk menutupi tangisku, agar Ratih yang dari tadi menemaniku tidak banyak bertanya.
Lamunanku berjalan menyusuri memori kota ini,  Jogja 7 tahun yang lalu. Saat kami, aku dan Sofi menjajakan semua yang bisa di jual di jalan. Kami bersegera turun kejalan ketika lampu mulai merah, dan kami saling membantu menghabiskan jualan-jualan kami.
Sampai ketika datang kepada kami, mamah Doly dengan mobil merahnya menghapiri kami tiap sore membawakan satu kresek makanan kepada masing-masing kami, di saat kami  lapar dan  lelah menjajakan jualan-jualan kami.
“ aku mau ikut mamah Doly Sof, ini kesempatan untukku merubah nasib. Kamu dengar sendiri kan, kita bisa mendapatkan apa saja yang kita inginkan. Kita bisa mengirimkan lebih banyak uang untuk keluarga kita di Trenggalek. Aku bisa menyekolahkan adikku, dan banyak lagi yang bisa ku berikan “ aku tersenyum penuh harap, melihat hari esok yang cerah. Aku akan menyambutnya. Pasti akan menyenangkan. Tapi ku lihat Sofi tidak begitu, dia Nampak menyayangkan keputusanku. Sepertinya dia ingin sekali mencegahku, tapi tidak mampu. Keputusanku sudah bulat, aku ingin hidup bahagia.
“ Ningsih, apakah kamu tau siapa mamah Doly? dia bukan orang yang kita kenal. Bisa saja kamu ditipu olehnya. Kamu cantik, dan banyak keinginan. Bisa saja dia menjadikanmu bonekanya. Dimainkan kapan saja.”
“ itu yang membuat kita terus seperti ini sof, tidak pernah berubah. Jualan di jalan terus – menerus. Kita tidak menyambut kebaikan orang lain. Mamah selalu baik terhadap kita. Selalu perduli dengan keadaan kita. Sof, Aku harap kamu bisa ikut bersamaku. Tetapi jika kamu tidak mau, cukup Yakinlah padaku, aku akan baik-baik saja.”

***

Aku malu menemuinya, dengan kondisiku yang sekarang. Aku tidak bisa memegang ucapanku untuk tetap baik-baik saja. Karena aku tidak dalam kondisi seperti itu sekarang. Aku tidak bisa melihatnya kecewa dengan keadaanku yang sekarang. Dan aku berharap dia mengenangku yang selalu ada buatnya dan menjadi sandaran, satu sama lain. Karena nasib kami yang sama, merantau ke Jogja, dan berusaha survive tanpa keluarga.

                                                                        ***
Di dalam rumah yang tidak aku inginkan, aku berusaha untuk melawan kenyataan. Aku tidak tahan lagi, tapi aku hanya bisa kembali kesini..
“ tuan putri, kamu di cari  Juan tuh, cieee…” tiba-tiba Dona masuk kamarku dan menggodaku yang sedang malas bertemu siapapun..
“ kenapa tidak mencari kau saja? Biasanya dia mencarimu..”.
 “kata mamah kamu yang dia cari..” Dona menimpali.
“ach, malas sekali aku, bilang saja aku lagi sakit, tidak bisa diganggu..” kutinggikan nada suaraku,  lebih tinggi dari yang pertama
“ baiklah, tapi kalau mamah marah-marah kamu tanggung sendiri akibatnya..” kata dona sambil melenggang pergi.
Aku tidak tahan lagi, aku ingin sekali keluar dari lingkungan ini. Tapi nasi sudah menjadi bubur, aku telah menjadi orang yang cela. Banyak  orang telah mengenalku sebagai wanita jalang. Tidak ada yang peduli padaku. Mereka hanya menginginkan aku menuruti apa yang mereka mau.
“Ningsiiih…!!!” suara mamah memanggil dari balik pintu kamarku. Aku tak peduli. “Ningsihh, sakit apa kamu? Juan sudah lama menunggumu..” mamah mengetuk pintu kamarku.
“aku sakit mah, biarkan aku istirahat sebentar..”
“ baik, istirahatlah…ku harap kamu segera kembali keJuan kalau kamu sudah membaik”
“ iya mah, ..”
Aku berusaha menenangkan jiwaku, tapi tak bisa juga. Aku telah terbuang. Aku tidak layak lagi disebut manusia. Hati nuraniku telah ku koyak, dan aku telah tidak peduli. Tak ada yang bisa ku jadikan sandaran. Aku tidak pada posisi yang benar. Kebenaran tak ada bagiku. Tetapi aku tidak mau terus seperti ini.
***

Aku memasuki sebuah rumah besar yang sejuk, taman yang indah dengan bunga tulip seperti di Belanda dan kolam renang yang luaas. Kulihat Sofi cantik sekali, memakai krudung dan terselip bunga kamboja tersenyum menyambutku dan  menggandengku berlari menyusuri hamparan bunga tulip yang berwarna-warni, merah jambu, putih, merah, dan kuning. Menari dan bernyanyi bersama. Kami telah hidup bahagia, ditempat yang sangat indah layaknya syurga.
Di ujung taman ku lihat mamah dan orang-orang yang ku temui di rumah mamah. Ku ceritakan semua ke Sofi, bahwa mereka orang –orang ku kenal. Orang yang membuatku semakin mersalah, dan ketakutan.

***
Tampak wanita aneh berpakaian tertutup, lengkap dengan kerudung. Dia bernyanyi, menari, dan terkadang menangis tiba-tiba. Dan setiap orang yang melihatnya, merasa kasian. Wanita itu seolah telah menemukan kedamaian yang di impikannya, namun seketika dia mengerutkan dahi, mencaci maki dan menangis. Wanita itu nampak lelah. Wanita itu adalah aku.

Read more

PSI

Read more
 

Pelita Kalam Design by Insight © 2009