PENCOPET DAN PARA BEGUNDAL (Tejemahan dari Al-Lish wa Al-Kilab, karya Najib Mahfouz)

Sa’id Mahran keluar dari penjara dengan menyimpan rasa dendam terhadap orang-orang yang menghianatinya. Mereka adalah Nubuyah, Alish dan para pengikutnya. Keluar dari penjara ia mendatangi Alish dan membuat perhitungan terhadapnya. Putri dan istrinya telah bersama  Alish selama ia di penjara. Istri yang telah menghianatinya juga. Sa’id ingin mengambil kembali putrinya, namun hak asuh anak adalah milik Alish sehingga ia tidak bisa membawa  putrinya. Dan kenyataan pahit yang harus dia terima adalah bahwa putrinya tidak mengenalnya karena memang sudah sepuluh tahun dia dipenjara.  Bahkan putrinya ketakutan ketika ia hendak memeluk dan mencium putrinya. Karena tidak memungkinkan untuk merebut kembali putrinya, ia pergi dari tempat Alish dan para antek-anteknya tersebut dengan membawa beberapa bukunya yang berada di tempat Alish. Ia selalu dihinggapi rasa marah dan dendam terhadap Alish dan Nubuyah. Ia bertekad untuk membunuh keduanya.
Pergi ke rumah pak Ali dia mendapati rumahnya sepi karena penghuninya selalu sibuk beribadah. Ia melihat pak Ali sedang khusyuk beribadah dan tidak memperhatikan keberadaannya. Pak Ali adalah pemuka di kampong tersebut. Dia adalah gurunya. Sa’id menginap disana. Paginya dia menemui Rauf teman terdekatnya dulu yang kini telah menjadi orang penting yang sukses. Teman yang juga menghianatinya. Namun hanya dia yang bisa dimintai pertolongan. Rauf adalah pemilik Koran Az zahrah. Dengan keinginan yang kuat akhirnya dia berhasil bertemu dengan teman lamanya tersebut. Rauf mengajaknya ke vilanya yang indah dan luas. Sa’id ingin menjadi wartawan di kantor Rauf namun sepertinya Rauf tidak mempercayai kemampuannya. Akhirnya dia pergi dari rumah Rauf dengan penuh kebencian.
Malam harinya Sa’id mengendap-endap ke rumah Rauf hendak mencuri hartanya. Rauf tahu kebiasaan Sa’id. Dan usahnya mencuri gagal. Rauf masih memaafkan Said untuk pergi.
Sa’id pergi ke tepat Tarzan, pemilik warung yang menjadi tempat berkumpulnya para begundal. Dia disambut dengan baik di tempat tersebut. Di tempat tersebut dia bertemu dengan Nur, orang yang sangat mencintainya. Sa’id menceritakan tentang penolakan putrinya terhadapnya dan keinginannya menghabisi Alish, Nubuyah dan Rauf kepada Tarzan. Dan Tarzan memberinya pistol beserta pelurunya dengan Cuma-Cuma.
Dengan kebencian yang mendalam, dia pergi mencari Alish dengan sembunyi- sembunyi. Dia hedak membunuh Alish dan Nubuyah dengan pistolnya. Setelah mendapati Alish bersama pengawal-pengawalnya dia menembakkan peluru ke arah Alish kemudian melarikan diri. Dia menemui Nur rumah Nur adalah tempat persembunyian yang aman karena letaknya yang diujung jalan dan dekat dengan tempat pemakaman. Paginya dia membaca Koran memberitakan tentangnya. Ternyata dia salah sasaran. Yang dia bunuh adalah pengawalnya yang tidak berdosa.
Koran Rauf selalu memberitakan tentang kejahatan Said dengan judul-judul yang berhuruf besar. Disana menceritakan semua kejahatan Said. Said seorang pencuri. Anak seorang penjaga sekolah. Selepas dipenjara Said menemui Rauf. Rauf memberinya dua junaihat namun malam harinya dia malah ingin mencuri di rumahnya namun gagal.
Malam harinya Sa’id hendak membunuh Rauf, namun gagal. Bahkan dia hampir terkena tembak dari pengawal Rauf.  Dia kembali ke rumah Nur dengan selamat. Paginya Nur membawakanya Koran seperti biasa. Dan di Koran Az Zahrah tertulis dengan jelas berita tentangnya. Semua orang akan mengenalnya. Dia menjadi buronan polisi.
Said telah banyak mengalami hal yang tidak mengenakkan. Ayahnya yang menjadi penjaga sekolah milik pak Ali meninggal ketika Said masih kecil. Melihat kecerdasannya, Rauf memasukkan Said di sekolah pak Ali. Ketika itu Rauf menjadi kepala sekolah. Rauf juga merekomendasikan Said menggantikan profesi ayahnya menjaga sekolah bersama ibunya. Karena kesulitan ekonomi Said kecil mencuri. Usahanya yang pertama ketauan teman-temannya dan dia dipukui namun Rauf membantu Said, dan membesarkan hati Said. Ibu Said sakit parah tanpa Said sadari. Dan ibu Said meninggal ketika Said masih muda.
Seperti pemuda yang lain Said tertarik kepada wanita. Dia tertarik kepada Nubuyah. Dia mencintai Nubuyah. Dengan usaha kerasnya akhirnya ia bisa menikahi Nubuyah. Alish teman sekolah Said memberikan selamat kepada keduanya, padahal Alish pun mencintai Nubuyah. Begitulah kemudian Alish dan Nubuyah menghianati Said.
Kedai Tarzan juga sudah tidak aman lagi untuk Said. Dia hanya bisa terus bersembunyi dirumah Nur. Dia selalu merasa aman bersama Nur karena Nur sangat mencintainya dan memperlakukannya dengan baik. Sampai suatu hari Nur tak pernah pulang lagi. Said tidak tahu apa yang terjadi terhadap Nur. Pasti terjadi hal yang membahayakan Nur, karena tidak mungkin dia pergi begitu saja. Nur ingin selalu bersama Said dan hidup bahagia berdua.
Pemilik kontrakan Nur menagih uang kontrakan yang sebulan nunggak, dan hendak mengusir Nur dari rumah. Pemilik rumah Nur tidak tau bahwa Nur tidak ada di dalam.  Pikir Said rumah itu sudah tidak aman lagi untuknya. Dia pergi kembali ke rumah pak Ali. Dia sangat kelaparan karena selama ini Nur yang menyiapkan makanan untuknya. Said beristirahat di rumah pak Ali. Dia terbangun disiang harinya dan melihat pak Ali memimpin doa para jamaah di depan rumahnya. Tak lama kemudian aparat keamanan datang mengepung mencari Said. Kembali Said bisa meloloskan diri. Dia lari ke pemakaman dekat rumah Nur. Sambil melihat rumah Nur yang lampunya menyala. Dia sangat merindukan Nur. Ternyata dia telah mencintai Nur. Dengan tebusan apapun pasti akan dia berikan bahkan nyawanya asal bisa menyelamatkan Nur.

Pemakaman telah dikepung. Begitu juga seluruh kota juga telah dikepung. Aparat keamanan berhasil menemukan Said di pemakaman. Dan tidak ada pilihan lain, kecuai Said menyerahkan diri.

Read more

Syair Penjual Kacang




SYAIR PENJUAL KACANG

Al-Habib, seorang yang dikasihi oleh banyak orang dan senantiasa didambakan kemuliaan hatinya, malam itu mengimami shalat Isya suatu jamaah yang terdiri dari para pejabat negara dan pemuka masyarakat.

Berbeda dengan adatnya, sesudah tahiyyat akhir diakhiri dengan salam, Al-Habib langsung membalikkan tubuhnya, menghadapkan wajahnya kepada para jamaah dan menyorotkan matanya tajam-tajam.

"Salah seorang dari kalian keluarlah sejenak dari ruangan ini," katanya, "Di halaman depan sedang berdiri seorang penjual kacang godok. Keluarkan sebagian dari uang kalian, belilah kacang beberapa bungkus."

Beberapa orang langsung berdiri dan berlari keluar, dan kembali ke ruangan beberapa saat kemudian.

"Makanlah kalian semua," lanjut Al-Habib, "Makanlah biji-biji kacang itu, yang diciptakan oleh Allah dengan kemuliaan, yang dijual oleh kemuliaan dan dibeli oleh kemuliaan."

Para jamaah tak begitu memahami kata-kata Al-Habib, sehingga sambil menguliti dan memakan kacang, wajah mereka tampak kosong.

"Setiap penerimaan dan pengeluaran uang," kata Al-Habib, "hendaknya dipertimbangkan berdasarkan nilai kemuliaan. Bagaimana mencari uang, bagaimana sifat proses datangnya uang ke saku kalian, untuk apa dan kepada siapa uang itu dibelanjakan atau diberikan, akan menjadi ibadah yang tinggi derajatnya apabila diberangkatkan dari perhitungan untuk memperoleh kemuliaan."

"Tetapi ya Habib," seseorang bertanya, "apa hubungan antara kita beli kacang malam ini dengan kemuliaan?"

Al-Habib menjawab, "Penjual kacang itu bekerja sampai nanti larut malam atau bahkan sampai menjelang pagi. Ia menyusuri jalanan, menembus gang-gang kota dan kampung-kampung. Di malam hari pada umumnya orang tidur, tetapi penjual kacang itu amat yakin Allah membagi rejeki bahkan kepada seekor nyamuk pun. Itu taqwa namanya. Berbeda dari sebagian kalian yang sering tak yakin akan kemurahan Allah, sehingga cemas dan untuk menghilangkan kecemasan hidupnya ia lantas melakukan korupsi, menjilat atasan serta bersedia melakukan dosa apa saja asal mendatangkan uang."

Suasana menjadi hening. Para jamaah menundukkan kepala dalam-dalam. Dan Al-Habib meneruskan, "Istri dan anak penjual kacang itu menunggu di rumah, menunggu dua atau tiga rupiah kerja semalaman. Mereka ikhlas dalam keadaan itu. Penjual kacang itu tidak mencuri atau memperoleh uang secara jalan pintas lainnya. Kalau ia punya situasi mental pencuri, tidaklah ia akan tahan berjam-jam berjualan."

"Punyakah kalian ketahanan mental setinggi itu?" Al-Habib bertanya, "Lebih muliakah kalian dibanding penjual kacang itu, atau ia lebih mulia daripada kalian? Lebih rendahkah derajat penjual kacang itu dibanding kalian, atau di mata Allah ia lebih tinggi maqam-nya dari kalian? Kalau demikian, kenapa di hati kalian selalu ada perasaan dan anggapan bahwa seorang penjual kacang adalah orang rendah dan lebih kecil?"

Dan ketika akhirnya Al-Habib mengatakan, "Maha mulia Allah yang menciptakan kacang, sangat mulia si penjual kacang itu dalam pekerjaannya, serta mulia pulalah kalian yang membeli kacang berdasar makrifat terhadap kemuliaan..." - salah seorang berteriak, melompat dan memeluk tubuh Al-Habib erat-erat.

1987, Emha Ainun Nadjib
dalam buku Seribu Masjid Satu Jumlahnya : Tahajjud Cinta Seorang Hamba (hal. 61)

Read more
 

Pelita Kalam Design by Insight © 2009