Rutinitasku telah benar-benar menyibukanku. Membuat Rencana Pembelajaran, menyiapkan materi yang akan disampaikan untuk siswa-siswa, dan aku harus mengurus warung makanku pula. Aku harap sehari tidak hanya 24 jam. Karena aku membutuhkan beberapa waktu tambahan untuk sekedar beristirahat sebentar. Aku mulai Nampak kurus, dan sepertinya sangat susah untukku menambah berat badan. Karena aku sudah tidak menikmati makanku.
Di usiaku yang ke 27 ini,
tak juga aku berani menambah peran baru, yaitu sebagi istri. Aku selalu
beranggapan berkeluarga itu sangat melelahkan. Lelah fisik maupun batin.
Bagaimana jika nanti suamiku selingkuh? Seperti ayahku yang meninggalkan ibu,
aku dan adik-adiku sendiri. Bagaimana
kalau aku menjadi jauh dari keluargaku? Trus, bagaimana aku bisa mengayomi
keluargaku? Bagaimana-bagaimana…--banyak pertanyaan yang harus kujawab untuk
menambah tanggung jawabku yang satu itu.
Keluargaku sering
menanyakan kepadaku, apakah aku sudah mempunyai lelaki yang hendak menikahiku.
Aku paham dengan kekhawatiran mereka. Aku sudah berumur. Teman – temanku sudah
menikah semua, bahkan mempunyai dua anak lebih. Adiku yang baru 23 tahun saja
sudah menikah. Ya, aku tau kekhawatiran mereka –takut aku menjadi perawan tua. Itu adalah aib buat keluarga. Tapi apakah mereka tau
kekhawatiran yang kurasakan? Kurasa tidak. Karena ketakutanku bisa mereka jawab dengan mudah. Aku terlalu buruk sangka dengan
kondisi wanita dalam keluarga. Bukan karena tanpa alasan aku menjadi begitu. Telah banyak wanita yang mengeluhkan kepadaku
ulah suami mereka ataupun kondisinya yang terdzolimi
selama menjadi istri.
***
Wanita cantik berjilbab
hijau menghampiriku sambil menggandeng anak kecil. Aku sangat mengenal sosok
ini, dia Nisa , temanku kuliah dulu. Kedatangannya menambah sedikit energy bagiku. Aku merindukannya.
Alhamdulillah Dia
benar-benar datang sore ini di warungku yang sebelumnya tidak pernah bisa karena dia juga sibuk
dengan pekerjaannya. Kami hanya bisa berhubungan lewat telefon. Itupun kalau
sempat.
Kami saling berpelukan karena kami saling merindukan. Dia
Nampak lebih kurus dari ketika kuliah dulu. Tapi senyum yang dulu masih
terlukis di bibirnya. Cantik.
Ku ambilkan sup
kesukaannya. Dia rengkuh tanganku, dan kami duduk di kursi kayu dan di depannya
terdapat meja bundar dari kayu juga.
“Warungmu cukup ramai Nina, kamu hebat!”
“Alhamdulillah, semoga berkah, itu
yang penting.”
“Iya, eh Nasir menanyakanmu lagi, Na. Katanya – apakah kau sudah siap menikah?” Nisa menanyakan itu lagi. Padahal aku sudah malas
menanggapi Nasir yang berlagak seperti ustad, suka menasehati orang, kesana -
kemari bicara soal agama, tapi kelakuannya terhadap wanita begitu menyedihkan.
“Buat apa dia menanyakanku lagi?
Bukankah dia banyak wanita? Kenapa tidak dia nikahi saja salah satu dari
mereka?”jawabku agak sewot.
“ Itu karena cuma kamu yang dia
tunggu. Dia ganti-ganti wanita karena belum
menemukan yang sepertimu.”
Heran sekali aku dengan kelakuan
Nasir.
“Tega sekali dia memperlakukan
wanita-wanitanya begitu? Membanding-bandingkan dengan orang lain.”
“Bisa saja kan, namanya juga
cinta…hehehe”
“Bilang saja aku sudah mempunyai lelaki
Nis..”
“Kamu benar sudah punya lelaki?” Nisa tidak yakin sambil tersenyum dan
melirik ku yang sepertinya tidak sungguh- sungguh dalam ucapannya.
“Tidaaak. Lelakiku ya cuma suamiku nanti kok.”
“Berarti kamu memintaku berbohong?” Nisa enggan dan sedikit mencibirkan bibirnya ke samping.
“Berarti kamu memintaku berbohong?” Nisa enggan dan sedikit mencibirkan bibirnya ke samping.
“Aku hanya ingin dia tidak lagi
menanyakanku. Aku
tidak akan pernah siap menikah dengannya. Ganti-ganti wanita itu hobi yang
tidak bisa ditinggalkannya, kamu tau itu. Jangan kamu jadikan aku sebagai
kambing hitamnya Nisa. Itu sudah menjadi kegemarannya. Dan itu akan terus dia lakukan meskipun
dia sudah beristri, dan meskipun istrinya aku.”
“Kamu sok tau, Na. Dia begitu karena ingin menemukanmu dalam
wanita lain, yach, itu karena kamu selalu menolaknya.”
“Ah, kamu bercanda. Aku banyak membaca gelagat lelaki. Aku tau apa yang mereka cari. Mereka
hanya mencari keindahan. Sulit menerima kekurangan. Dia begitu padaku karena
yang dia tau hanya keindahanku saja. Karena aku memang tidak pernah terbuka
dengan lelaki. Dan aku selalu menjaga jarak dengan lelaki. Cukup katakan
padanya, seperti yang kubilang tadi, Nisa. Pasti kamu mau melakukannya untukku.” Aku tersenyum lebar kepadanya
“Kalau kamu selalu berfikir begitu,
kamu tidak akan pernah siap untuk menikah, Na. kamu selalu berburuk sangka dengan lelaki.” Nisa
menatapku dalam-dalam, dan aku mencoba mengerti apa telah dikatakan sahabatku
itu.
“Na, aku tau kamu pasti juga tidak mau
terus-terusan mengurus warungmu sendiri. Kamu butuh teman untuk menyangga
bebanmu. Walaupun
sebenarnya tanpa oranglainpun kamu bisa melakukannya. Tapi apakah kamu masih
tidak mau berubah? Begini terus-menerus? Kamu selalu berfikir seolah-olah tidak ada kebaikan pada
laki-laki, lalu bagaimana kamu bisa membangun keluargamu nanti? Menikah itu
perintah Alloh Kanina. Dan Alloh memerintahkan sesuatu pasti karena ada kebaikan disana
kan?”
“Iya, Nisa. Aku tau. Alloh pasti memberikan solusi di
setiap permasalahan kita. Dan menikah sebagai penentram jiwa laki-laki dan
wanita yang mulai merasa sendiri menghadapi dunia. Tapi realiatasnya sangat
pahit kuterima,
Nisa. Aku sangat miris melihat
kondisi wanita yang terdzolimi. Menjadi orang yang terhinakan yang sebelumnya dipuji-puji,
dan menjadi makhluk terindah. Itu menyakitkan, Nisa. Sebelum kesana, aku harus bisa mengendalikan kondisi
dulu, dimana aku tidak bergantung pada lelaki. Sehingga ketika keburukan itu terjadi
padaku, aku benar-benar sudah siap.”
“Kamu hanya butuh ikhlas, Nisa. Ikhlas dengan masa lalumu dan permasalahan wanita yang lain.
Bukankah dengan segala kesabaranya wanita menjadi mulia? Bukan atas pengakuan
suami kita atau siapa pun, melainkan mulia di sisi Alloh Kanina. Dan aku lihat kamu kuat, Na.”
Aku masih mencoba untuk
mengerti apa yang telah dikatakannya. Ku lihat Nisa memandang jauh bukit yang
nampak dari warung makanku, tapi tidak, dia melihat lebih jauh dari bukit itu,
pandangannya seolah menembus bukit yang memanjang itu.
“Siapa yang bisa mengira na, suamiku
diambil Alloh secepat itu. Ketika aku mulai merasakan kebahagiaan bersamanya. Awalnya memang berat. Tetapi Alloh pasti tidak akan
membiarkanku begitu saja. Dan saat ini lihat, aku tetap bisa merasakan bahagia
meski tanpa suamiku. Anakku, orang terdekatku telah banyak memberikanku
kebahagiaan.” Dia kembali tersenyum.
Aku tau apa yang dia
rasakan. Tapi tak ada sepatah katapun yang mampu keluar dari mulutku untuknya.
Dan aku masih mencoba mengerti apa yang sahabatku katakan. Aku masih menunggu sosok
yang tepat untuk menjadi suamiku, sambil aku menyolehkan diri. Suatu saat pasti aku akan menikah. Meskipun aku tidak tau kapan waktu
itu tiba, menemukan orang yang benar-benar menikahiku karena ikhlas ingin
beribadah, sehingga kekurangan apapun yang ada padaku dia bisa menerimanya. Dan
akupun begitu.
Perasaanku terus
berkecamuk, bimbang. Pasti sulit menemukan orang yang seperti itu. Sampai kapan
aku menunggu, dan terus seperti ini? Aku berusaha ngenyampingkan masalah ini,
karena ini sangat dilematis bagiku.
Kulihat Nisa kembali
menyuapi anaknya. Dan
dia terlihat bahagia, terlihat dari senyum tulusnya.
Kualihkan perhatianku
kembali pada Nia putri Nisa yang sangat menggemaskan itu untuk melupakan kegalauanku.
0 komentar:
Posting Komentar