cahaya kalam teman aliyahku

Bismillah, alhamdulillah, wash sholatu was salam ala rasulillah…

Kawan, tarian  pena harus terbata tatkala dihadapkan dengan tema besar kepahlawanan. Catatan ini bukan paripurna, hanya mula dari cerita panjang mengenai sosok yang didamba…

Kawan, pemuda hari ini telah kehilangan ruh kepemudaannya. Padahal, ruh itulah yang akan menjelma menjadi jubah kepahlawanan. Pemuda hari ini miskin, bukan harta, tetapi cita- cita. Kebanyakan mereka fakir, bukan materi, tapi visi.

Hal itu karena mereka tidak mengenal lagi pekerjaan besar kehidupan.

Apakah Imam Syafiie salah ketika mengatakan kalau pemuda hari ini adalah pemimpin esok hari? Ataukah Sukarno hanya mengigau kalau ia akan mengubah dunia dengan sepuluh pemuda? Entah…

Menjelang wafatnya, Rasulullah menunjuk Usamah bin Zaid, seorang pemuda 18 tahun untuk memimpin pasukan yang berisi para veteran dalam rangka  menyerang Syiria. Dalam konteks Muhammadiyah, kita lihat Kyai Dahlan di akhir 1800an. Saat umurnya baru 22 tahun, ia ditentang para kyai senior karena melakukan koreksi arah kiblat Masjid Gedhe Kraton Yogyakarta.

Di masa pergerakan bangsa ini, para pemuda mengambil takdir kepahlawanannya masing-masing. Semaun baru berumur 14 tahun tatkala memimpin 20.000 buruh untuk melakukan demo di Semarang. Sementara Natsir, Sukarno, Hatta dan Syahrir, umur mereka belum mencapai 20 tahun saat menggerakkan pemuda lainnya menggalang kekuatan politik dan sosial demi sebuah cita-cita bernama kemerdekaan.

Pertanyannya sekarang, dimanakah para pemuda yang mau untuk menempuh jalan kepahlawanannya? Tidak adakah Dahlan baru untuk kita? Dimanakah Natsir zaman ini? Ataukah memang masa telah mandul untuk melahirkan pahlawannya?

Kawan, kepahlawanan adalah takdir keagungan. Memang berat, tapi itulah harga kemuliaan.

Kalian harus tahu hal ini. Para pahlawan adalah manusia biasa. Mereka makan, minum dan tidur layaknya orang-orang. Mereka juga marah dan tertawa, bahkan menangis karena kehilangan orang yang dicintainya. Jadi mereka tidak terlahir sempurna. Lantas, apa bedanya?

Mereka menjalani keseharian dalam kesadaran. Visi mereka jauh. Mereka tidak hanyut dalam jebakan masyarakat yang melupakan keluhuran. Dada mereka bergemuruh karena rindu pada kemuliaan. Mereka mengalami kegetiran akibat hilangnya nilai-nilai ideal dalam kehidupan.

Dari jiwa yang merana, mereka selesaikan soal-soal harian. Mereka tidak lagi berkutat dengan masalah remeh dan rendah. Lalu mereka mengarahkan energi jiwa untuk menggarap tema besar kemanusiaan dan kehidupan. Sementara, orang biasa menghabiskan waktu untuk keseharian yang tak ada habisnya. Mereka memilih untuk menghempaskan takdir kepahlawanannya. Mereka mengkhianati kerinduan jiwa terhadap berkah kemuliaan.

Kawan, pahlawan terlahir dalam persengketaan. Kebanyakan mereka hadir saat perang besar berkecamuk. Namun, persengketaan tidak selalu berarti benturan fisik. Saling serang bersenjata memang klimaks. Tapi hakikat perang ada dalam ide (conseptual friction). Pahlawan datang tatkala haqq harus berhadapan muka dengan bathil.

Zaman terus bergulir dan pahlawan datang silih berganti. Begitu pula musuh ber-regenerasi dan mengubah diri. Pahlawan hari ini dihadapkan dengan 4 musuh besar yang menyengsarakan orang kebanyakan.

Empat musuh pahlawan hari ini adalah
kekerasan, ketidakjujuran, pemujaan pada kesenangan (hedonisme) , serta kecabulan-ketelanjangan (pornografi-pornoaksi).

Kawan, para pahlawan menangis melihat realitas yang diselimuti kerendahan. Mereka tercengang melihat manusia saling memaki, meneriaki dan menghabisi. Mereka kaget ketika ada ibu membunuh buah hatinya dan anak menikam ayahnya. Kenapa persaudaraan harus berakhir dalam anyir darah dan kematian?

Saling tipu menjadi kelumrahan. Tidak malu seorang mengatakan kalau jujur marakke ajur (menyebabkan kebinasaan). Seolah kebenaran menjadi sebab kesengsaraan. Mencontek sebagai bibit penipuan tidak kunjung dilenyapkan. Jangan kaget jika contekan bermetamorfosa menjadi korupsi uang negara. Demi perut beberapa gelintir orang, rakyat jelata menelan ludah dan kelaparan.

Belum lagi anak muda sekarang. Tidak ada dalam benak mereka selain pesta dan permainan. Kesenangan dipuja seperti tuhan dan dijadikan standar ukur kebenaran. Hedonisme menjelma menjadi agama baru.

Ketelanjangan dan kecabulan makin merebak. Tidak ada iklan tivi kecuali perempuan menjadi objeknya. Mengangkat tinggi celana adalah tren busana masa kini. Pemerkosaan yang merebak dianggap tidak ada kaitannya dengan ketelanjangan. Foto dan video porno diakses anak di bawah umur dengan leluasa.

Kawan, dua hal bersemayam dalam dada pahlawan. Yang pertama adalah cinta dan yang kedua adalah sabar.
Muhammad Iqbal benar tatkala mengatakan bahwa inti diri adalah jiwa dan cinta merupakan energi penggeraknya. Ibnul Qayyim juga tidak ragu menyebut bahwa cintalah penyebab Allah menciptakan alam atas dan alam bawah. Dan pahlawan, mereka bertindak karena cinta.

Tapi cinta dalam hati pahlawan bukanlah cinta biasa. Profil cinta mereka tinggi. Mereka tidak mengidamkan kecuali keluhuran. Bukan kemasyhuran, kekayaan maupun kesenangan. Para pahlawan mencari kedamaian dalam kebenaran. Dan kedamaian itulah yang harus dibayar dengan keperihan.

Tidak ada cinta tanpa pengorbanan. Mencintai kelembutan berarti melawan pengobar kekerasan. Mencintai kejujuran berarti berhadapan dengan pelaku penipuan. Mencintai kesederhanaan berarti disingkirkan oleh pemuja kesenangan. Mencintai kehormatan berarti dianggap aneh oleh pendukung ketelanjangan. Semua itu membersitkan luka dan keperihan.

Tapi pahlawan bertindak dalam kesadaran. Mereka tahu kosekuensi cinta mereka. Tapi cinta menguatkan mereka.

Pahlawan tahu bahwa karena cinta, burung pipit menjelma menjadi simurgh yang mengangkasa.

Dan dari cinta pula, mekar sifat kedua yang menghujam dalam dada. Sabar, sebagai mahkota segala kebajikan, adalah etos kepahlawanan.

Karena sabar, keberanian tidak meredup dalam kepengecutan. Karena sabar, kezuhudan tidak hanyut dalam kemewahan. Karena sabar, kesucian tidak hilang diterpa kerendahan. Dan karena sabar, kelembutan tidak bergeser menjadi kekasaran.

Kawan, tulisan harus terhenti karena tema kepahlawanan bagaikan taman bunga yang begitu menakjubkan. Keterpesonaan seringkali harus berakhir dalam lisan yang kata-katanya tercekat dan penuh kekaburan.
Pilihlah jalan dan takdir kepahlawananmu, karena ia adalah tanggung jawab kehidupan.

Dan sesungguhnya hanya Allah muara kebenaran dan hanya Ia tempat meminta pertolongan…

(sempat ditampilkan di majalah al-manar edisi idul adha 2010)

0 komentar:

Posting Komentar

 

Pelita Kalam Design by Insight © 2009